Source: http://www.al-ikhwan.net
Allah SWT berfirman:
فَلَا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى
“……maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci, Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.” (An-Najm:32).
Mengetahui dan menyadari kesalahan adalah awal kebaikan. Sementara merasa benar terus adalah awal dari kehancuran. Kesalahan memang merupakan tabiat manusia, namun tidaklah bijaksana bila kita terus menerus melanggengkan kesalahan apalagi mewariskannya kepada binaan-binaan atau anak-anak kita.
وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan Perkataan yang benar”. (An-Nisa:9)
Ayat diatas mengingatkan kita adanya keterkaitan yang erat antara kuat atau lemahnya generasi penerus dengan ketakwaan dan kebenaran ucapan orang tua atau pembina. Oleh karena itu sepantasnyalah kita selalu mawas diri jangan sampai kita mewariskan keburukan kepada penerus-penerus kita.
Hendaklah kita menjadi pribadi yang malu bila berbuat salah. Malu kepada Allah dan malu kepada orang-orang beriman. Tidak cukup sekadar mengetahui bahwa diri kita salah, tetapi kita begitu manja meminta permakluman dari Allah yang Maha Pengampun dan Maha Penerima Taubat. Yang harus kita lakukan bukan hanya menjauhi kesalahan-kesalahan yang besar dan fatal tetapi juga berusaha menghindarkan diri dari kekeliruan-kekeliruan kecil. Sebab apapun bentuknya bila kita sadar melakukan kesalahan tetap saja itu merupakan dosa.
Siapa pun kita pasti pernah terjatuh pada kesalahan. Tugas kita adalah memohon ampun dan bertaubat kepada Allah. Untuk kesalahan pada sesama manusia tentu saja kita harus meminta maaf lebih dulu kepada mereka. Jangan gengsi untuk mengakui kesalahan. Jangan sampai kita berbohong untuk membela kesalahan kita. Apalagi kita berargumen untuk membela kesalahan tersebut dan meminta orang lain menganggap bahwa kesalahan kita adalah kebenaran, na’udzubillahi min dzalik.
Allah paling mengetahui tentang diri kita dan melebihi pengetahuan kita. Maka janganlah kita merasa diri kita bersih dan merasa diri paling benar. Kalaupun kita benar dan orang lain salah kita tidak boleh melecehkan kesalahannya. Kalau kita tidak ingin aib kita dibuka orang lain maka jangan buka aib orang lain. Meluruskan diri sendiri dan orang lain tidak perlu dengan cara membuka aib. Cukuplah kita meminta ampun kepada Allah dan melakukan langkah-langkah perbaikan yang lebih menjaga kehormatan diri dan orang lain. Terkadang ada orang yang karena kesalahannya terlanjur dibeberkan menjadi malu dan bersikap antipati, bukan hanya kepada yang membeberkan tetapi juga kepada wadah di mana si pembeber aib bernaung.
“Janganlah karena engkau orang jadi benci terhadap Islam” (Al Hadits).
Kebenaran harus diperjuangkan dengan cara yang benar pula,
الغاية لا تبرر الوسيلة
(tujuan tidak boleh menghalalkan segala cara).
Jadi masalahnya bukan tidak boleh mengungkap kesalahan orang lain, tapi bagaimana caranya agar pengungkapan itu tidak membawa dampak negative bagi yang bersangkutan: menghalanginya dari jalan Allah. Teruslah memperjuangkan kebenaran. Jantanlah mengakui kesalahan dan bijaksanalah dalam meluruskan kesalahan orang lain. Keberhasilan berawal dari kesadaran akan kesalahan, sehingga setiap pribadi senantiasa terus memperbaiki diri menuju kepada kesempurnaan.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu”. (Al-Baqarah:208)
وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ. الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ. وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَى مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema’afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau Menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui”. (Ali Imran:133-135)
Ikhwan dan akhwat fillah…
Dalam sirah mencatat akan pengakuan seorang wanita Al Ghamidiyah yang telah terjatuh kepada perzinahan. Bukan hanya sekadar mengaku tetapi wanita tersebut ingin bertaubat dan minta dirajam. Saat itu Rasulullah menyuruh wanita tersebut melahirkan dan menyusui dulu anak dari hasil perzinahan tersebut. Setelah si anak sudah disapih barulah dilaksanakan hukum rajam. Dalam peristiwa itu terucap dari lisan Rasul bahwa wanita tersebut dijamin masuk surga.
Hikmah yang bisa kita petik dari kisah di atas adalah betapa dengan pemahaman yang seadanya saja seseorang berani mengakui kesalahannya. Maka sepantasnyalah mereka yang memiliki pemahaman yang dalam lebih bersikap kesatria mengakui kesalahannya. Tidak cukup sekadar mengakui kesalahan tetapi harus dilanjutkan dengan taubat, kembali kepada kebenaran. Bila mengakui kesalahan tetapi tetap berkubang di kemaksiatan bagaikan kuda nil yang berkubang di lumpur kotor dan bau.
Bertaubat berarti mau membersihkan diri, bersedia dihukum dan siap melakukan hal-hal yang dapat menghapus kesalahannya. Rajam adalah salah satu bentuk hukuman sekaligus penyucian. Dan tentu saja harapan utama yang ingin dicapai adalah keridhaan Allah dan surganya. Bagi yang berwenang untuk melaksanakan hukuman tentu harus bijaksana sebagaimana Rasul. Jangan jijik dan sinis mengetahui kesalahan orang lain. Hantarkan kesalahan orang menuju kepada taubatnya. Mengantarkan si salah untuk meraih surga. Bukan membuat dia putus asa, mengurung diri atau, na’udzubillahi min dzalik, bunuh diri.
Kalau kita ingin orang lain memaklumi kesalahan kita dan memberi kesempatan kita untuk berbenah diri maka kita juga harus mau memaklumi kesalahan orang lain dan memberinya kesempatan bertaubat.
Berkenaan dengan sosialisasi penjatuhan sanksi seyogyanya ikhwan dan akhwat fillah memandangnya sebagai sarana bersuci. Inilah kesempatan untuk lebih menyelami arti haasibuu anfusakum qabla antuhaasabuu.
Kita bahkan harus merasa dibantu oleh saudara-saudara kita lewat program tersebut. Tentunya program ini berlaku bagi semua. Tidak ada yang kebal hukum. Fatimah pun kalau mencuri pasti dipotong tangannya oleh Rasul. Maka di manapun posisi kita dalam kehidupan bermasyarakat, kita harus berani mengakui kesalahan, dan tentu saja juga siap dikenakan sanksi. Namun jangan kaget bila ada orang yang kita hormati atau kita kagumi suatu ketika juga terkena sanksi. Itu manusiawi. Bahkan itu menunjukkan kematangan tokoh kita tersebut (mau mengakui kesalahannya). Semua benda yang tidak steril (bukan nabi) pasti berdebu, pasti punya salah dan dosa. Maka jangan kita biarkan debu itu melekat, mari sama-sama bersihkan dengan semangat bersuci diri.
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا . وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا
“Sungguh beruntunglah orang yang menyucikan jiwanya dan merugilah orang yang mengotorinya”(As-Syams: 9-10)
Betapa kita menyadari seringkali kita gagal untuk terus bertahan dalam kebaikan. Mungkin itu disebabkan karena kita terlalu menganggap remeh kesalahan atau terlalu memanjakan diri dengan sifat Allah yang Maha Pengampun. Dengan penjatuhan sanksi kita terbiasa untuk lebih waspada terhadap kesalahan. Hukuman manusia masih begitu ringan. Terkadang masih terbalut dengan rasa kasihan dan permakluman. Semoga dengan terbiasa menjaga diri agar terhindar dari penjatuhan sanksi insya Allah akan mengantarkan kita untuk terbiasa menghindari dosa agar selamat dari azab Allah nanti di yaumil akhir.
فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ
“Maka barang siapa yang dijauhkan dari siksa neraka dan dimasukkan ke dalam surga sungguh sangat beruntunglah ia” (Ali Imran:185).
"Hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung" (QS. Ali Imran: 104)
Jumat, 18 Desember 2009
At Tarbiyah Adz Dzatiyah (Membina Integritas Diri)
Source: http://www.al-ikhwan.net
Tabiat dakwah ini berkembang dan menyebar ke berbagai pelosok alam semesta. Karena misi dakwah ini adalah menyebarkan rahmat bagi dunia untuk seluruh umat manusia (Al Anbiya: 107).
Dengan begitu dakwah menjadi hak semua orang agar mereka meraih hidayah Allah SWT. Amatlah pantas semua kalangan mendapatkan nikmat dakwah. Atau paling tidak, semua manusia dapat merasakan rahmatnya ajaran ini. Akan tetapi kondisi semacam itu akan sangat dipengaruhi oleh kualitas kepribadian para penyeru dan aktivis dakwah.
Aktivis dakwah yang dapat memandu ajaran ini agar berkembang dan tersebar luas ke segenap pelosok bumi adalah mereka yang mampu meningkatkan integritas dirinya. Peningkatan diri kader dakwah selaras dengan berkembangnya dakwah yang menjadi tugas dan tanggung jawab mereka. Pengembangan dan peningkatan integritas diri bagi aktivis dakwah dikenal dengan sebutan Tarbiyah Dzatiyah (Pembinaan Integritas diri)
Kemampuan tarbiyah dzatiyah setiap kader akan menjadikan mereka mempunyai daya tahan terhadap berbagai ujian dan cobaan dakwah. Ia tidak mudah futur (malas-malasan), ia tidak mudah kendur semangat juangnya, ia tidak jumud dalam pemikirannya, ia pun tidak bingung menjawab berbagai tuduhan miring bahkan ia mampu menyelesaikan berbagai persoalan yang menghadangnya. Ia tidak akan menjadi kader yang “keder” lantaran selalu bersikap menunggu ‘intruksi atasan’ atau ‘menurut petunjuk murabbi’.
Dengan sikap itu kader dakwah tidak sangat bergantung pada bayanat pusat atau qararat qiyadah. Melainkan ia mampu mengembangkan dakwah sebagaimana mestinya. Dan dapat mengambil keputusan yang tepat.
Utusan-utusan Rasulullah SAW. telah membuktikan dirinya dalam mengembangkan dakwah di berbagai tempat. Mereka dapat bertahan sekalipun jauh dari Rasulullah SAW. dan komunitas muslim lainnya. Ja’far bin Abi Thalib diantaranya. Dia dan sahabat lainnya dapat tinggal di Habasyah dalam waktu yang cukup lama. Sekalipun mereka sangat merindukan berkumpul bersama dengan saudara muslim lainnya. Mereka dapat mempertahankan dirinya dalam keimanan dan ketaqwaan. Begitu kuatnya daya tahan mereka hidup bersama dakwah jauh dari saudara-saudaranya yang lain dalam waktu yang cukup lama. Hingga Rasulullah SAW. begitu bangga terhadap mereka di saat mereka pulang ke Madinah. Beliau menyatakan, ‘Aku bingung apa yang membuat senang diriku, apakah karena menangnya kita di Khaibar ataukah kembalinya kaum muslimin dari Habasyah?.
Demikian pula Mush’ab bin Umair sebagai duta Islam pertama dapat mengembangkan dakwah di Madinah dan berhasil membangun masyarakat di sana. Mush’ab sebagai guru pertama di Madinah dapat memperluas jaringan dakwah dan kadernya. Sehingga tempat itu menjadi basis komunitas umat Islam di kemudian hari. Dan menjadi mercusuar peradaban Islam.
Begitulah kepribadian kader dakwah yang mumpuni dalam mengemban amanah mulia. Mereka dapat menunaikan tugas tersebut dengan sebaik-baiknya. Lantaran tarbiyah dzatiyah yang ada pada diri mereka. Malah banyak tugas-tugas lain dapat diselesaikannya dengan nilai cumlaude.
Sebaliknya kader dakwah yang tidak mampu meningkatkan integritas dirinya cenderung linglung. Bahkan mungkin akan menimbulkan kegaduhan dalam kerja dakwah. Sebagaimana ungkapan pujangga lama
‘Al ‘Askarul ladzi tasuduhul bithalah yujidul musyaghabati,
kader yang tidak punya kemampuan untuk berbuat sesuatu sangat potensial membuat kegaduhan dalam kerja dakwah’.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui”. (Al Anfal: 27)
Asy Syakhshiyah Al Islamiyah Al Mutaharikah (Kepribadian Aktifis Islam)
Tidak dipungkiri bahwa Tarbiyah Dzatiyah menjadi kepribadian aktivis Islam. Bahkan Rasulullah SAW. menilai hal ini sebagai prasyarat untuk para duta Islam dalam mengembangkan dakwah. Karenanya hal ini menjadi point dalam fit and profer-test bagi mereka yang akan menjalani tugasnya. Sehingga seseorang yang diutus ke suatu tempat, Nabi SAW. mempertimbangkan kemampuannya dalam pengembangan integritas dirinya.
Hal ini sebagaimana yang dipertanyakan Rasulullah SAW. pada Mu’adz Bin Jabal saat akan diutus ke Yaman.
‘Wahai Mu’adz, bila kamu berada di tempat yang baru nanti, jika menemukan suatu persoalan apa yang akan kamu putuskan. Mu’adz menjawab, aku akan putuskan berdasarkan kitab Allah. Rasulullah SAW. pun melanjutkan, bila tidak kamu temukan pada kitab Allah, dengan apa kau putuskan. Jawab Mu’adz, aku akan tetapkan berdasarkan Sunnah Rasulullah. Nabi SAW. kemudian menanyakan kembali, bila tidak juga kamu dapati di dalamnya, apa yang akan kamu lakukan. Mu’adz menjawab, aku akan putuskan dengan akal pikiranku (ijtihadku)’. Ternyata jawaban Mu’adz sangat memuaskan hati Rasulullah SAW. Malah beliau memandang bahwa kualitas Mu’adz sudah memadai untuk mengemban tugas mulia tersebut.
Kapabilitas yang semacam itu diharapkan mampu menyelesaikan setiap permasalahan yang selalu muncul di lapangan dakwah. Sehingga ia tidak selalu menyerahkan masalah itu pada qiyadah dakwah ataupun kader lainnya. Dengan kemampuan itu kader dakwah tidak gamang dalam mensikapi berbagai urusan yang terkait dengan tanggung jawabnya.
Karena tanpa sikap itu persoalan dakwah akan bertambah pelik dan menambah beban qiyadah. Telah sering kita dengar qiyadah dakwah mengarahkan agar kader tidak selalu mengandalkan jawaban dari pusat atau menunggu bayanatnya. Melainkan mereka perlu mensikapi dengan cepat apa yang mesti diambil sikapnya untuk menuntaskan suatu permasalahan.
Meski demikian kitapun perlu melihat koridornya agar tidak terjebak dalam membebaskan diri untuk selalu bersikap di luar kendali qiyadah. Karena ini pun akan menimbulkan kekisruhan dalam struktural kendali dakwah. Seperti sikap Huzaifah ibnul Yaman sewaktu ditugaskan Rasulullah SAW. masuk ke barisan musuh. Huzaifah mendapati Abu Sufyan sedang memanaskan tubuhnya karena udara dingin. Saat itu Huzaifah mampu untuk membunuhnya, akan tetapi ia teringat pesan Rasulullah SAW. bahwa tugasnya waktu itu adalah memperhatikan kondisi musuh dan mengabarinya kepada Rasul. Sehingga ia urung untuk membunuhnya walau kesempatan itu ada di hadapannya..Karena itu perlu menempatkan secara imbang terhadap permasalahan ini.
Peningkatan integritas diri dan mematuhi rambu-rambu qiyadah.
Yang lebih berbahaya lagi bagi kader dakwah adalah bila tidak memiliki keduanya. Syaikh Hamid ‘Asykariyah menegaskan, bahwa ‘mereka yang sudah tidak punyai kebaikan (peningkatan integritas diri dan mematuhi rambu-rambu qiyadah). Mereka telah kehilangan kesadaran terhadap kemuliaan dakwah dan kepunahan prilaku taat pada qiyadah. Siapa yang telah kehilangan dua hal ini, maka mereka tidak ada gunanya tetap berada dalam barisan dakwah bersama kita.
Ada’u Mutathallibatil Manhaj (Menyelesaikan Tuntutan Manhaj)
Manhaj dakwah memberikan ruang yang banyak untuk sarana tarbiyah agar dapat merealisasikannya seoptimal mungkin. Baik melalui liqaat tarbawiyah, daurah, seminar, mukhayyam ataupun tarbiyah dzatiyah. Untuk mengaplikasikan manhaj dakwah yang begitu banyak dan padat tidaklah memadai dengan sarana tarbiyah regular. Karena keterbatasan alokasi waktu maupun keterbatasan Murabbi dalam menyelesaikan tuntutan manhaj. Maka tarbiyah dzatiyah menjadi sarana untuk menyelaraskan tuntutan manhaj tersebut.
Oleh karena itu perlulah dipahami dengan benar pada setiap kader dakwah agar dapat melakukan tarbiyah dzatiyah dalam dirinya. Hal ini akan sangat membantu mengaplikasikan nilai-nilai tarbawiyah secara maksimal. Dan dapat mencapai arahan manhaj yang menjadi acuan dakwah untuk mewujudkan kader yang siap meringankan perjalanan dakwah ini. Bila masing-masing kader sibuk untuk merealisaikan manhaj dalam dirinya sebagaimana tuntutan manhaj maka semua kader akan aktif dengan berbagai program dan kegiatannya.
Syaikh Abdul Halim Mahmud menyatakan bahwa tarbiyah dzatiyah merupakan tuntutan manhaj dakwah ini. Baik dalam arahannya agar menjadi kader dakwah yang sigap dan tanggap dalam menyambut tugas dakwah. Juga dalam muatannya yang tidak dapat diberikan secara kolektif karena berbagai pertimbangan. Namun dituntaskan secara personal dengan peningkatan kemampuan tarbiyah dzatiyah. Sehingga tampilah kader yang siap go publik dengan Allah SWT di jalan dakwah ini.
Tarqiyatu Ath Thaqah Adz Dzatiyah (Peningkatan Potensi Diri)
Peran serta kader terhadap dakwah sangatlah dimarakkan agar mereka dapat memberikan kontribusinya dan menjadi bagian dari dakwah. Kader yang dapat melakukan hal ini adalah mereka yang memahami betul potensi dirinya. Potensi yang dapat bermanfaat bagi perjalanan dakwah.
Menajamkan potensi diri kader menjadi aktivitas rutin. Seyogyanya semakin hari semakin tajam potensi yang dimilikinya. Grafik potensinya selalu naik seiring perjalanan waktu. Sebagaimana yang dialami para pendahulu dakwah. Mereka senantiasa berada dalam kondisi puncak setiap bergulirnya waktu.
Imam Ibrahim Al Harby selalu mengomentari sahabat-sahabatnya dengan ungkapan istimewa, katanya, ‘Aku sudah bergaul dengan fulan bin fulan beberapa waktu, siang dan malam. Dan tidak aku jumpai pada dirinya kecuali ia lebih baik dari kemarin’.
Layaknya aktivis dakwah dapat mengembangkan diri agar potensi yang dimilikinya betul-betul dapat didayagunakan seoptimal mungkin. Sehingga mereka bisa berada di garis terdepan. Bahkan sepatutnya dalam kondisi lebih baik dari hari-harinya yang telah lewat. Kondisi yang prima dan selalu lebih baik dari kemarin akan membuatnya istijabah fauriyah (dapat memenuhi panggilan dakwah dengan cepat) yang semakin komplek tuntutannya. Dengan potensi yang demikian, kader dakwah dapat menempati lini yang beragam dalam tugas mulia ini. Karenanya tarbiyah dzatiyah adalah upaya untuk meningkatkan dan menajamkan seluruh potensi kader dakwah yang beragam.
Adapun aspek-aspek yang perlu ditingkatkan kader dakwah dalam tarbiyah dzatiyah terhadap dirinya meliputi:
1. Ar Ruhiyah (Spiritual)
Sudah menjadi kebiasaan bagi para kader untuk dapat meningkatkan ketahanan ruhiyahnya. Sehingga ia tidak lemah dalam mengemban tugas mulia. Ruhiyah yang kokoh menjadi variable yang sangat menentukan.
Bila perlu setiap kader memiliki program personal dalam menjaga ketahanan ruhiyah. Seperti merutinkan diri untuk shalat berjamaah di mesjid, shaum sunnah, qiyamullail, sedekah, ziarah kubur ataupun aktivitas lainnya yang berdampak pada kesehatan ruhaninya.
Dengan upaya itu insya Allah maknawiyah kader tidak ringkih dan kendur. Kondisi maknawiyah yang rapuh akan berdampak negatif bagi dirinya dalam menjalankan tugas dakwah. Disamping itu, tampaknya para kader perlu mencermati naik turunnya ruhaniyah diri mereka sendiri. Bahkan sedapat mungkin mempunyai patokan yang terukur agar dapat dievaluasi dengan seksama baik melalui orang terdekat (murabbi, pasangan, teman) ataupun cukup diri sendiri.
Ambillah pelajaran dari sikap para sahabat dalam mentarbiyah ruhiyah mereka masing-masing. Ada yang selalu menjaga keadaan diri agar selalu dalam keadaan berwudlu’. Ada pula yang senantiasa mengunjungi orang yang sedang mengalami cobaan hidup. Ada juga yang berziarah ke makam, dan upaya lainnya.
Camkanlah nasehat Umar ibnul Khathtab, “hitung-hitunglah dirimu sebelum kamu dihisab Allah SWT. di hari Perhitungan (akhirat)”.
2. Al Fikriyah (Pemikiran)
Pada dasarnya pemikiran manusia senantiasa menuntut konsumsinya agar tidak mengalami kejumudan berpikir. Untuk memenuhi tuntutan tesebut tidaklah cukup mengandalkan muatan pemikiran dari majlis liqaat tarbiyah semata. Akan tetapi dapat mencari berbagai sumber penggalian berpikir. Bisa melalui penelaahan kitab, menghadiri acara kajian ilmiah ataupun kegiatan peningkatan wawasan lainnya.
Telah banyak paparan nash dari Al Qur’an ataupun Hadits yang menyuruh untuk memberdayakan kemampuan berpikir dengan melakukan pengamatan dan pengkajian. Sehingga pemikiran kader senantiasa dalam pencerahan bahkan ia selalu dapat mencari solusi yang pas. Bila demikian halnya pemikiran kader senantiasa berkembang dan menjadi pintu gerbang kemajuan intelektual.
Imam Hasan Al Banna dalam Majmu’atur Rasail menegaskan tentang kewajiban kader dakwah yang diantaranya adalah kewajiban membaca buku beberapa jam dalam setiap hari serta memiliki perpustakaan pribadi di rumahnya sekalipun kecil.
3. Al Maliyah (Material)
Dakwah juga dipengaruhi oleh kekuatan material. Tidak terkecuali para pengembannya. Karena itu setiap kader harus memiliki kemampuan interpreneurshipnya agar tidak menjadi beban orang lain.
Imam Hasan Al Banna menetapkan muwashafat kader yang diantaranya adalah memiliki kemampuan mencari penghidupan bagi dirinya (qadirun alal kasabi).
Para sahabat yang diridhai Allah SWT. telah memberikan pelajaran pada kita semua bahwa mereka tidak menjadi beban bagi saudara. Kaum Muhajirin yang datang ke Madinah tidak membawa apa-apa, namun mereka tidak mengandalkan bantuan kaum Anshar. Kaum Muhajirin mampu mengembangkan potensi maaliyah dirinya. Mereka pun akhirnya dapat hidup sebagaimana layaknya malah ada yang lebih baik dari kehidupannya di Mekkah.
4. Al Maydaniyah (Penguasaan Lapangan)
Penguasan lapangan juga hal sangat penting bagi perkembangan dakwah ini. Seorang kader mesti memahami medan yang dihadapinya dengan cepat. Penguasan lapangan yang cepat dan tangkap dapat memperoleh taktik dan strategi yang tepat untuk dakwah ini. Pengenalannya yang bagus dapat menentukan strategi apa yang cocok dan pas bagi wilayah tersebut.
Maka ketika para sahabat berada di tempat yang baru mereka mulai belajar untuk mengenal medan dan lingkungannya. Sehingga pejalanan dakwah mereka berkembang dengan pesat. Seperti dakwah di Madinah oleh Mush’ab bin Umair dan sahabat lainnya.
Dari sinilah setiap kader perlu mengenal dengan betul wilayahnya. Sehingga dapat terdeteksi dengan cepat mana yang menjadi peluang dakwah dan mana pula yang menjadi hambatannya. Sehingga ia dapat mensikapinya dari keadaan tersebut. Bila menemui sumbatan ia cepat mengantisipasinya.
5. Al Harakiyah (Gerakan Dakwah)
Penguasaan harakiyah pun menjadi aspek tarbiyah dzatiyah yang perlu diperhatikan sehingga kader dakwah bisa mengikuti lajunya gerakan dakwah. Ini bisa terjadi apabila seorang kader dapat menyelami geliat dakwah dan pergerakannya. Pemahaman terhadap gerakan dakwah yang tepat melahirkan sikap kader yang mengerti benar tentang sikap apa yang harus dilakukan untuk kepentingan dakwah.
Sebagaimana yang dilakukan Huzaifah Ibnul Yaman ketika masuk ke tengah barisan musuh. Saat kondisi malam yang gelap dan mencekam seperti itu, Abu Sufyan sangat khawatir pasukannya diinfiltrasi. Sehingga ia mengumumkan agar seluruh prajurit harus mengenal siapa yang ada di kiri kanannya. Setelah selesai memberikan komando itu Huzaifah lantas memegang tangan orang yang ada di sisi kanan dan kirinya sambil menanyakan siapa engkau. Tentu saja mereka menjawab saya fulan bin fulan. Dengan kesigapannya Huzaifah tidak ditanya orang.
Sasaran yang hendak dicapai dari tarbiyah dzatiyah bagi seorang kader dan perkembangan dakwah adalah sebagai berikut:
a. Al Munawaratul Al Harakiyah (Gerak Manuver Dakwah)
Sasaran tarbiyah dzatiyah ini adalah untuk dapat mengembangkan gerak manuver dakwah ke berbagai wilayah dan pelosok. Sehingga banyak wilayah dan manusia lain yang mendapatkan sentuhan dari dakwah dan kadernya. Wilayah dakwah semakin hari semakin meluas dan kader dakwahnya semakin hari semakin bertambah tentu juga peningkatan mutu kualitasnya. Dalam kajian Fiqhus Sirah Syaikh Munir Muhammad Ghadhban diungkapkan bahwa Rasulullah SAW. setiap tahun selalu mendapatkan informasi mengenai bertambahnya suku, kabilah atau orang yang tersentuh dakwah Islam dan menjadi pengikutnya yang setia. Ini tentu sangat terkait dengan para penyebar dakwahnya. Mereka adalah manusia-manusia yang selalu dalam kondisi meningkat iman dan taqwanya serta meningkat dalam merespon perintah dari Allah dan Rasul-Nya. Dengan kata lain bahwa tarbiyah dzatiyahnya sudah sangat mapan.
b. Al Matanah An Nafsiyah Ad Dakhiliyah (Soliditas Personal)
Tarbiyah dzatiyah juga untuk meningkatkan daya tahan kader. Kader yang tidak lemah mentalnya, tidak jumud pikirannya, tidak menjadi beban material kader lainnya, tidak bingung dengan sekitarnya dan tidak pula linglung atau ketinggalan jauh dari lajunya dakwah ini. Kader yang tidak menjadi beban bagi dakwah atau membuat bertambahnya beban pemikiran para qiyadah.
Dengan begitu akan muncul kader-kader yang tangguh dalam menunaikan amanah dakwah. Kader yang prima staminanya dalam menjalankan tugas. Sehingga perjalanan ini semakin lancar dan mulus untuk meniti jalan kemenangan dakwah. Bila hal ini tercapai dakwah tidak disibukan dengan urusan internal dan konfliknya. Sebaliknya para kader akan sibuk dengan maneuver dakwahnya.
Upaya Memulai Tarbiyah Dzatiyah Bagi Kader
Untuk dapat menjalankan program tarbiyah dzatiyah hendaknya perlu mempertimbangkan kiat berikut:
Pertama: Buatlah fokus sasaran tarbiyah dzatiyah yang akan dilaksanakan oleh masing-masing individu. Misalnya, aspek ruhiyah seperti apa yang diinginkan dengan gambaran dan ukuran yang jelas seperti shalat lima waktu berjamaah di mesjid, selalu membaca 1 juz Al Qur’an dalam setiap hari. Demikian pula aspek fikriyah ataupun aspek yang lainnya. Sehingga semakin teranglah fokus yang hendak dicapai.
Kedua: Setelah menentukan fokusnya maka mulailah memperhatikan sisi prioritas amal yang hendak dilakukan. Aspek mana saja yang akan dilakukan dengan segera. Hal ini tentu melihat pertimbangan kebutuhan saat ini. Misalnya aspek ruhiyah yang diprioritaskan maka buatlah program yang jelas untuk segera dikerjakan.
Ketiga: Sesudah itu mulailah melaksanakan dari hal yang ringan dan mudah dari program yang telah ditetapkan agar dapat dilakukan secara berkesinambungan. Keempat, agar dapat menjadi program kegiatan yang jelas tekadkan untuk memulainya dari saat ini dan berdoalah pada Allah SWT. agar dimudahkan dalam menjalankan ikrarnya. Kelima, untuk dapat bertahan terus melakukannya upayakan untuk memberikan sangsi bila melanggar ketentuan yang telah diikrarkan.
Wallahu ‘alam bishshawwab.
Tabiat dakwah ini berkembang dan menyebar ke berbagai pelosok alam semesta. Karena misi dakwah ini adalah menyebarkan rahmat bagi dunia untuk seluruh umat manusia (Al Anbiya: 107).
Dengan begitu dakwah menjadi hak semua orang agar mereka meraih hidayah Allah SWT. Amatlah pantas semua kalangan mendapatkan nikmat dakwah. Atau paling tidak, semua manusia dapat merasakan rahmatnya ajaran ini. Akan tetapi kondisi semacam itu akan sangat dipengaruhi oleh kualitas kepribadian para penyeru dan aktivis dakwah.
Aktivis dakwah yang dapat memandu ajaran ini agar berkembang dan tersebar luas ke segenap pelosok bumi adalah mereka yang mampu meningkatkan integritas dirinya. Peningkatan diri kader dakwah selaras dengan berkembangnya dakwah yang menjadi tugas dan tanggung jawab mereka. Pengembangan dan peningkatan integritas diri bagi aktivis dakwah dikenal dengan sebutan Tarbiyah Dzatiyah (Pembinaan Integritas diri)
Kemampuan tarbiyah dzatiyah setiap kader akan menjadikan mereka mempunyai daya tahan terhadap berbagai ujian dan cobaan dakwah. Ia tidak mudah futur (malas-malasan), ia tidak mudah kendur semangat juangnya, ia tidak jumud dalam pemikirannya, ia pun tidak bingung menjawab berbagai tuduhan miring bahkan ia mampu menyelesaikan berbagai persoalan yang menghadangnya. Ia tidak akan menjadi kader yang “keder” lantaran selalu bersikap menunggu ‘intruksi atasan’ atau ‘menurut petunjuk murabbi’.
Dengan sikap itu kader dakwah tidak sangat bergantung pada bayanat pusat atau qararat qiyadah. Melainkan ia mampu mengembangkan dakwah sebagaimana mestinya. Dan dapat mengambil keputusan yang tepat.
Utusan-utusan Rasulullah SAW. telah membuktikan dirinya dalam mengembangkan dakwah di berbagai tempat. Mereka dapat bertahan sekalipun jauh dari Rasulullah SAW. dan komunitas muslim lainnya. Ja’far bin Abi Thalib diantaranya. Dia dan sahabat lainnya dapat tinggal di Habasyah dalam waktu yang cukup lama. Sekalipun mereka sangat merindukan berkumpul bersama dengan saudara muslim lainnya. Mereka dapat mempertahankan dirinya dalam keimanan dan ketaqwaan. Begitu kuatnya daya tahan mereka hidup bersama dakwah jauh dari saudara-saudaranya yang lain dalam waktu yang cukup lama. Hingga Rasulullah SAW. begitu bangga terhadap mereka di saat mereka pulang ke Madinah. Beliau menyatakan, ‘Aku bingung apa yang membuat senang diriku, apakah karena menangnya kita di Khaibar ataukah kembalinya kaum muslimin dari Habasyah?.
Demikian pula Mush’ab bin Umair sebagai duta Islam pertama dapat mengembangkan dakwah di Madinah dan berhasil membangun masyarakat di sana. Mush’ab sebagai guru pertama di Madinah dapat memperluas jaringan dakwah dan kadernya. Sehingga tempat itu menjadi basis komunitas umat Islam di kemudian hari. Dan menjadi mercusuar peradaban Islam.
Begitulah kepribadian kader dakwah yang mumpuni dalam mengemban amanah mulia. Mereka dapat menunaikan tugas tersebut dengan sebaik-baiknya. Lantaran tarbiyah dzatiyah yang ada pada diri mereka. Malah banyak tugas-tugas lain dapat diselesaikannya dengan nilai cumlaude.
Sebaliknya kader dakwah yang tidak mampu meningkatkan integritas dirinya cenderung linglung. Bahkan mungkin akan menimbulkan kegaduhan dalam kerja dakwah. Sebagaimana ungkapan pujangga lama
‘Al ‘Askarul ladzi tasuduhul bithalah yujidul musyaghabati,
kader yang tidak punya kemampuan untuk berbuat sesuatu sangat potensial membuat kegaduhan dalam kerja dakwah’.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui”. (Al Anfal: 27)
Asy Syakhshiyah Al Islamiyah Al Mutaharikah (Kepribadian Aktifis Islam)
Tidak dipungkiri bahwa Tarbiyah Dzatiyah menjadi kepribadian aktivis Islam. Bahkan Rasulullah SAW. menilai hal ini sebagai prasyarat untuk para duta Islam dalam mengembangkan dakwah. Karenanya hal ini menjadi point dalam fit and profer-test bagi mereka yang akan menjalani tugasnya. Sehingga seseorang yang diutus ke suatu tempat, Nabi SAW. mempertimbangkan kemampuannya dalam pengembangan integritas dirinya.
Hal ini sebagaimana yang dipertanyakan Rasulullah SAW. pada Mu’adz Bin Jabal saat akan diutus ke Yaman.
‘Wahai Mu’adz, bila kamu berada di tempat yang baru nanti, jika menemukan suatu persoalan apa yang akan kamu putuskan. Mu’adz menjawab, aku akan putuskan berdasarkan kitab Allah. Rasulullah SAW. pun melanjutkan, bila tidak kamu temukan pada kitab Allah, dengan apa kau putuskan. Jawab Mu’adz, aku akan tetapkan berdasarkan Sunnah Rasulullah. Nabi SAW. kemudian menanyakan kembali, bila tidak juga kamu dapati di dalamnya, apa yang akan kamu lakukan. Mu’adz menjawab, aku akan putuskan dengan akal pikiranku (ijtihadku)’. Ternyata jawaban Mu’adz sangat memuaskan hati Rasulullah SAW. Malah beliau memandang bahwa kualitas Mu’adz sudah memadai untuk mengemban tugas mulia tersebut.
Kapabilitas yang semacam itu diharapkan mampu menyelesaikan setiap permasalahan yang selalu muncul di lapangan dakwah. Sehingga ia tidak selalu menyerahkan masalah itu pada qiyadah dakwah ataupun kader lainnya. Dengan kemampuan itu kader dakwah tidak gamang dalam mensikapi berbagai urusan yang terkait dengan tanggung jawabnya.
Karena tanpa sikap itu persoalan dakwah akan bertambah pelik dan menambah beban qiyadah. Telah sering kita dengar qiyadah dakwah mengarahkan agar kader tidak selalu mengandalkan jawaban dari pusat atau menunggu bayanatnya. Melainkan mereka perlu mensikapi dengan cepat apa yang mesti diambil sikapnya untuk menuntaskan suatu permasalahan.
Meski demikian kitapun perlu melihat koridornya agar tidak terjebak dalam membebaskan diri untuk selalu bersikap di luar kendali qiyadah. Karena ini pun akan menimbulkan kekisruhan dalam struktural kendali dakwah. Seperti sikap Huzaifah ibnul Yaman sewaktu ditugaskan Rasulullah SAW. masuk ke barisan musuh. Huzaifah mendapati Abu Sufyan sedang memanaskan tubuhnya karena udara dingin. Saat itu Huzaifah mampu untuk membunuhnya, akan tetapi ia teringat pesan Rasulullah SAW. bahwa tugasnya waktu itu adalah memperhatikan kondisi musuh dan mengabarinya kepada Rasul. Sehingga ia urung untuk membunuhnya walau kesempatan itu ada di hadapannya..Karena itu perlu menempatkan secara imbang terhadap permasalahan ini.
Peningkatan integritas diri dan mematuhi rambu-rambu qiyadah.
Yang lebih berbahaya lagi bagi kader dakwah adalah bila tidak memiliki keduanya. Syaikh Hamid ‘Asykariyah menegaskan, bahwa ‘mereka yang sudah tidak punyai kebaikan (peningkatan integritas diri dan mematuhi rambu-rambu qiyadah). Mereka telah kehilangan kesadaran terhadap kemuliaan dakwah dan kepunahan prilaku taat pada qiyadah. Siapa yang telah kehilangan dua hal ini, maka mereka tidak ada gunanya tetap berada dalam barisan dakwah bersama kita.
Ada’u Mutathallibatil Manhaj (Menyelesaikan Tuntutan Manhaj)
Manhaj dakwah memberikan ruang yang banyak untuk sarana tarbiyah agar dapat merealisasikannya seoptimal mungkin. Baik melalui liqaat tarbawiyah, daurah, seminar, mukhayyam ataupun tarbiyah dzatiyah. Untuk mengaplikasikan manhaj dakwah yang begitu banyak dan padat tidaklah memadai dengan sarana tarbiyah regular. Karena keterbatasan alokasi waktu maupun keterbatasan Murabbi dalam menyelesaikan tuntutan manhaj. Maka tarbiyah dzatiyah menjadi sarana untuk menyelaraskan tuntutan manhaj tersebut.
Oleh karena itu perlulah dipahami dengan benar pada setiap kader dakwah agar dapat melakukan tarbiyah dzatiyah dalam dirinya. Hal ini akan sangat membantu mengaplikasikan nilai-nilai tarbawiyah secara maksimal. Dan dapat mencapai arahan manhaj yang menjadi acuan dakwah untuk mewujudkan kader yang siap meringankan perjalanan dakwah ini. Bila masing-masing kader sibuk untuk merealisaikan manhaj dalam dirinya sebagaimana tuntutan manhaj maka semua kader akan aktif dengan berbagai program dan kegiatannya.
Syaikh Abdul Halim Mahmud menyatakan bahwa tarbiyah dzatiyah merupakan tuntutan manhaj dakwah ini. Baik dalam arahannya agar menjadi kader dakwah yang sigap dan tanggap dalam menyambut tugas dakwah. Juga dalam muatannya yang tidak dapat diberikan secara kolektif karena berbagai pertimbangan. Namun dituntaskan secara personal dengan peningkatan kemampuan tarbiyah dzatiyah. Sehingga tampilah kader yang siap go publik dengan Allah SWT di jalan dakwah ini.
Tarqiyatu Ath Thaqah Adz Dzatiyah (Peningkatan Potensi Diri)
Peran serta kader terhadap dakwah sangatlah dimarakkan agar mereka dapat memberikan kontribusinya dan menjadi bagian dari dakwah. Kader yang dapat melakukan hal ini adalah mereka yang memahami betul potensi dirinya. Potensi yang dapat bermanfaat bagi perjalanan dakwah.
Menajamkan potensi diri kader menjadi aktivitas rutin. Seyogyanya semakin hari semakin tajam potensi yang dimilikinya. Grafik potensinya selalu naik seiring perjalanan waktu. Sebagaimana yang dialami para pendahulu dakwah. Mereka senantiasa berada dalam kondisi puncak setiap bergulirnya waktu.
Imam Ibrahim Al Harby selalu mengomentari sahabat-sahabatnya dengan ungkapan istimewa, katanya, ‘Aku sudah bergaul dengan fulan bin fulan beberapa waktu, siang dan malam. Dan tidak aku jumpai pada dirinya kecuali ia lebih baik dari kemarin’.
Layaknya aktivis dakwah dapat mengembangkan diri agar potensi yang dimilikinya betul-betul dapat didayagunakan seoptimal mungkin. Sehingga mereka bisa berada di garis terdepan. Bahkan sepatutnya dalam kondisi lebih baik dari hari-harinya yang telah lewat. Kondisi yang prima dan selalu lebih baik dari kemarin akan membuatnya istijabah fauriyah (dapat memenuhi panggilan dakwah dengan cepat) yang semakin komplek tuntutannya. Dengan potensi yang demikian, kader dakwah dapat menempati lini yang beragam dalam tugas mulia ini. Karenanya tarbiyah dzatiyah adalah upaya untuk meningkatkan dan menajamkan seluruh potensi kader dakwah yang beragam.
Adapun aspek-aspek yang perlu ditingkatkan kader dakwah dalam tarbiyah dzatiyah terhadap dirinya meliputi:
1. Ar Ruhiyah (Spiritual)
Sudah menjadi kebiasaan bagi para kader untuk dapat meningkatkan ketahanan ruhiyahnya. Sehingga ia tidak lemah dalam mengemban tugas mulia. Ruhiyah yang kokoh menjadi variable yang sangat menentukan.
Bila perlu setiap kader memiliki program personal dalam menjaga ketahanan ruhiyah. Seperti merutinkan diri untuk shalat berjamaah di mesjid, shaum sunnah, qiyamullail, sedekah, ziarah kubur ataupun aktivitas lainnya yang berdampak pada kesehatan ruhaninya.
Dengan upaya itu insya Allah maknawiyah kader tidak ringkih dan kendur. Kondisi maknawiyah yang rapuh akan berdampak negatif bagi dirinya dalam menjalankan tugas dakwah. Disamping itu, tampaknya para kader perlu mencermati naik turunnya ruhaniyah diri mereka sendiri. Bahkan sedapat mungkin mempunyai patokan yang terukur agar dapat dievaluasi dengan seksama baik melalui orang terdekat (murabbi, pasangan, teman) ataupun cukup diri sendiri.
Ambillah pelajaran dari sikap para sahabat dalam mentarbiyah ruhiyah mereka masing-masing. Ada yang selalu menjaga keadaan diri agar selalu dalam keadaan berwudlu’. Ada pula yang senantiasa mengunjungi orang yang sedang mengalami cobaan hidup. Ada juga yang berziarah ke makam, dan upaya lainnya.
Camkanlah nasehat Umar ibnul Khathtab, “hitung-hitunglah dirimu sebelum kamu dihisab Allah SWT. di hari Perhitungan (akhirat)”.
2. Al Fikriyah (Pemikiran)
Pada dasarnya pemikiran manusia senantiasa menuntut konsumsinya agar tidak mengalami kejumudan berpikir. Untuk memenuhi tuntutan tesebut tidaklah cukup mengandalkan muatan pemikiran dari majlis liqaat tarbiyah semata. Akan tetapi dapat mencari berbagai sumber penggalian berpikir. Bisa melalui penelaahan kitab, menghadiri acara kajian ilmiah ataupun kegiatan peningkatan wawasan lainnya.
Telah banyak paparan nash dari Al Qur’an ataupun Hadits yang menyuruh untuk memberdayakan kemampuan berpikir dengan melakukan pengamatan dan pengkajian. Sehingga pemikiran kader senantiasa dalam pencerahan bahkan ia selalu dapat mencari solusi yang pas. Bila demikian halnya pemikiran kader senantiasa berkembang dan menjadi pintu gerbang kemajuan intelektual.
Imam Hasan Al Banna dalam Majmu’atur Rasail menegaskan tentang kewajiban kader dakwah yang diantaranya adalah kewajiban membaca buku beberapa jam dalam setiap hari serta memiliki perpustakaan pribadi di rumahnya sekalipun kecil.
3. Al Maliyah (Material)
Dakwah juga dipengaruhi oleh kekuatan material. Tidak terkecuali para pengembannya. Karena itu setiap kader harus memiliki kemampuan interpreneurshipnya agar tidak menjadi beban orang lain.
Imam Hasan Al Banna menetapkan muwashafat kader yang diantaranya adalah memiliki kemampuan mencari penghidupan bagi dirinya (qadirun alal kasabi).
Para sahabat yang diridhai Allah SWT. telah memberikan pelajaran pada kita semua bahwa mereka tidak menjadi beban bagi saudara. Kaum Muhajirin yang datang ke Madinah tidak membawa apa-apa, namun mereka tidak mengandalkan bantuan kaum Anshar. Kaum Muhajirin mampu mengembangkan potensi maaliyah dirinya. Mereka pun akhirnya dapat hidup sebagaimana layaknya malah ada yang lebih baik dari kehidupannya di Mekkah.
4. Al Maydaniyah (Penguasaan Lapangan)
Penguasan lapangan juga hal sangat penting bagi perkembangan dakwah ini. Seorang kader mesti memahami medan yang dihadapinya dengan cepat. Penguasan lapangan yang cepat dan tangkap dapat memperoleh taktik dan strategi yang tepat untuk dakwah ini. Pengenalannya yang bagus dapat menentukan strategi apa yang cocok dan pas bagi wilayah tersebut.
Maka ketika para sahabat berada di tempat yang baru mereka mulai belajar untuk mengenal medan dan lingkungannya. Sehingga pejalanan dakwah mereka berkembang dengan pesat. Seperti dakwah di Madinah oleh Mush’ab bin Umair dan sahabat lainnya.
Dari sinilah setiap kader perlu mengenal dengan betul wilayahnya. Sehingga dapat terdeteksi dengan cepat mana yang menjadi peluang dakwah dan mana pula yang menjadi hambatannya. Sehingga ia dapat mensikapinya dari keadaan tersebut. Bila menemui sumbatan ia cepat mengantisipasinya.
5. Al Harakiyah (Gerakan Dakwah)
Penguasaan harakiyah pun menjadi aspek tarbiyah dzatiyah yang perlu diperhatikan sehingga kader dakwah bisa mengikuti lajunya gerakan dakwah. Ini bisa terjadi apabila seorang kader dapat menyelami geliat dakwah dan pergerakannya. Pemahaman terhadap gerakan dakwah yang tepat melahirkan sikap kader yang mengerti benar tentang sikap apa yang harus dilakukan untuk kepentingan dakwah.
Sebagaimana yang dilakukan Huzaifah Ibnul Yaman ketika masuk ke tengah barisan musuh. Saat kondisi malam yang gelap dan mencekam seperti itu, Abu Sufyan sangat khawatir pasukannya diinfiltrasi. Sehingga ia mengumumkan agar seluruh prajurit harus mengenal siapa yang ada di kiri kanannya. Setelah selesai memberikan komando itu Huzaifah lantas memegang tangan orang yang ada di sisi kanan dan kirinya sambil menanyakan siapa engkau. Tentu saja mereka menjawab saya fulan bin fulan. Dengan kesigapannya Huzaifah tidak ditanya orang.
Sasaran yang hendak dicapai dari tarbiyah dzatiyah bagi seorang kader dan perkembangan dakwah adalah sebagai berikut:
a. Al Munawaratul Al Harakiyah (Gerak Manuver Dakwah)
Sasaran tarbiyah dzatiyah ini adalah untuk dapat mengembangkan gerak manuver dakwah ke berbagai wilayah dan pelosok. Sehingga banyak wilayah dan manusia lain yang mendapatkan sentuhan dari dakwah dan kadernya. Wilayah dakwah semakin hari semakin meluas dan kader dakwahnya semakin hari semakin bertambah tentu juga peningkatan mutu kualitasnya. Dalam kajian Fiqhus Sirah Syaikh Munir Muhammad Ghadhban diungkapkan bahwa Rasulullah SAW. setiap tahun selalu mendapatkan informasi mengenai bertambahnya suku, kabilah atau orang yang tersentuh dakwah Islam dan menjadi pengikutnya yang setia. Ini tentu sangat terkait dengan para penyebar dakwahnya. Mereka adalah manusia-manusia yang selalu dalam kondisi meningkat iman dan taqwanya serta meningkat dalam merespon perintah dari Allah dan Rasul-Nya. Dengan kata lain bahwa tarbiyah dzatiyahnya sudah sangat mapan.
b. Al Matanah An Nafsiyah Ad Dakhiliyah (Soliditas Personal)
Tarbiyah dzatiyah juga untuk meningkatkan daya tahan kader. Kader yang tidak lemah mentalnya, tidak jumud pikirannya, tidak menjadi beban material kader lainnya, tidak bingung dengan sekitarnya dan tidak pula linglung atau ketinggalan jauh dari lajunya dakwah ini. Kader yang tidak menjadi beban bagi dakwah atau membuat bertambahnya beban pemikiran para qiyadah.
Dengan begitu akan muncul kader-kader yang tangguh dalam menunaikan amanah dakwah. Kader yang prima staminanya dalam menjalankan tugas. Sehingga perjalanan ini semakin lancar dan mulus untuk meniti jalan kemenangan dakwah. Bila hal ini tercapai dakwah tidak disibukan dengan urusan internal dan konfliknya. Sebaliknya para kader akan sibuk dengan maneuver dakwahnya.
Upaya Memulai Tarbiyah Dzatiyah Bagi Kader
Untuk dapat menjalankan program tarbiyah dzatiyah hendaknya perlu mempertimbangkan kiat berikut:
Pertama: Buatlah fokus sasaran tarbiyah dzatiyah yang akan dilaksanakan oleh masing-masing individu. Misalnya, aspek ruhiyah seperti apa yang diinginkan dengan gambaran dan ukuran yang jelas seperti shalat lima waktu berjamaah di mesjid, selalu membaca 1 juz Al Qur’an dalam setiap hari. Demikian pula aspek fikriyah ataupun aspek yang lainnya. Sehingga semakin teranglah fokus yang hendak dicapai.
Kedua: Setelah menentukan fokusnya maka mulailah memperhatikan sisi prioritas amal yang hendak dilakukan. Aspek mana saja yang akan dilakukan dengan segera. Hal ini tentu melihat pertimbangan kebutuhan saat ini. Misalnya aspek ruhiyah yang diprioritaskan maka buatlah program yang jelas untuk segera dikerjakan.
Ketiga: Sesudah itu mulailah melaksanakan dari hal yang ringan dan mudah dari program yang telah ditetapkan agar dapat dilakukan secara berkesinambungan. Keempat, agar dapat menjadi program kegiatan yang jelas tekadkan untuk memulainya dari saat ini dan berdoalah pada Allah SWT. agar dimudahkan dalam menjalankan ikrarnya. Kelima, untuk dapat bertahan terus melakukannya upayakan untuk memberikan sangsi bila melanggar ketentuan yang telah diikrarkan.
Wallahu ‘alam bishshawwab.
Langganan:
Postingan (Atom)